Pencapaian Titik Tinggi: Tadabbur Alam dengan Hiking Gunung
Yang namanya hidup pasti seperti
roda berputar. Kadang di level atas, pasti, kadang di level bawah, dan juga
level tengah. Saat beberapa hal terjadi sesuai dengan harapan, disitu kita
sebut pada titik atas. Bahkan hal tersebut bisa juga di atas ekspektasi. Sesuatu
yang tidak kita harapkan tidak pula kita impikan, namun terjadi. Sebaliknya,
disebut sebagai titik rendah ketika berhadapan dengan kenyataan yang tidak
sesuai dengan harapan. Juga kadang hidup rasanya flat, biasa-biasa saja.
Jika pada moment ini mesti
membahas titik atas hidup, rasanya bagaimana yah. Sulit untuk diungkapkan. Khawatir
terkesan tidak bersyukur, juga khawatir terkesan meninggi-ninggikan. Namun ternyata
setelah berpikir sejenak. Saya mendapatkan point penting dari bahasan satu ini.
Pencapaian tertinggi dari masing-masing individu pasti unik. Alias tidak bisa
sama dengan individu lainnya. baik dari reason-nya, prosesnya, hingga result-nya.
Pasti unik. Toh kita sebagai manusia memang terlahir tidak sama dengan manusia
lainnya. oleh karena itu, saya beranikan untuk menulis ini.
Apa-apa yang saya anggap sebagai
pencapaian tertinggi dalam hidup saya sama sekali adalah hak saya untuk
mengklaimnya. Menjadi saya tidak mudah, menjadi “seseorang” itu tidak mudah. Jadi
seiring bertambahnya usia ini, lambat laun saya memahami. Menghargai suatu
kepentingan bagi orang lain, bagi dirinya sendiri, apa-apa yang dianggapnya
berarti dalam hidupnya, amatlah harus.
Tadabbur Alam dengan Hiking
Gunung
Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya bahwa saya akan menjadi bagian dari penikmat alam dengan cara hiking
gunung. Bermula hanya ikut-ikutan organisasi mapala di kampus, untuk
mengabadikan moment hari jadi himpunan mahasiswa. Saya dan beberapa new-bie
lainnya ikut dalam rombongan. Awalnya berat sekali sampai-sampai saya klaim
bahwa tidak ingin naik gunung lagi. Seminggu lamanya setelah kembali turun,
badan saya masih sakit-sakitan. Encok sana-sini, kesulitan bergerak. Maklum sebelum
naik gunung tersebut tidak ada persiapan fisik yang berarti yang saya dan
teman-teman new-bie lakukan. Ya mana kami tau jika naik gunung ternyata
se-gempor itu badan dibuatnya, hehe.
Entah alasan apa yang saya lupa,
akhirnya saya mencoba naik gunung untuk yang kedua kalinya. Lalu mencoba untuk
gunung ketiga. setelah merantau ke Pulau Jawa, entah mengapa perasaan pengen
naik gunung kembali menggebu. Maka sampai saat ini sudah delapan pendakian yang
saya tempuh selama di Pulau Jawa.
Akhir tahun 2019, harusnya saya
di Semeru. Namun ternyata belum berjodoh. Slot yang tersisa pada event
organizer open trip saat itu adalah pendakian Gunung Rinjani. Awalnya saya agak
ragu. Rinjani terasa amat jauh, pun biayanya pasti agak besar. Namun berbekal
dengan bonusan akhir tahun dari kantor, saya beranikan menyambangi Rinjani
meski solo trip dari Jakarta. Saya pikir saya akan berjodoh dengan Rinjani kali
ini.
Pendakian Gunung Rinjani adalah salah
satu titik balik pencarian jati diri saya. Solo trip yang saya lakukan dari
Jakarta menuju Surabaya-Bali-Lombok membuat pikiran saya perlahan menjadi
matang. Yang awalnya banyak sekali pikiran “tidak mungkin” hingga akhirnya bisa
bilang “wah, ternyata begini ya, seru!”.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari long trip itu. Tidak
hanya dari proses perjalanan, namun pasti juga dari pendakian itu sendiri.
Rinjani itu sempurna, seperti yang pernah disampaikan oleh teman kerja saya
yang sudah ke Rinjani : Kalau udah ke Rinjani engga perlu lagi deh ke yang
lain. Semuanya ada di Rinjani. Danau ada, sabana savana ada, summit mirip
Semeru, ar terjun ada!.
Wah gila sih itu motivasinya. sejak
saat itu, kalimat tersebut selalu terngiang-ngiang hingga membuat saya kepo dengan
Rinjani namun masih merasa mustahil untuk ke sana. Khawatir engga bisa melewati
jalurnya apalagi, ya maklum saya bukan pendaki tapi penikmat gunung. Kalau bisa
dibuat senyaman mungkin pendakian itu yah, hehe.
Maka pada saat moment itu nyata,
saat saya buktikan sendiri bahwa Rinjani memang sempurna. Bahkan ingin kembali
ke sana, terlebih belum sempat menikmati camping di danau. Semoga suatu saat
bisa tercapai, tapi Semeru dulu deh, hehe.
Nah, bagi saya, melakukan
pendakian-pendakian tersebut adalah pencapaian tertinggi saya saat ini yang
tidak akan pernah saya lupakan. Moment hidup saya yang unik. Bagaimana kuasa-Nya
memperjalankan saya hingga berada di puncak-puncak gunung. Menikmati setiap
lelah langkah kaki saat naik maupun turun. Terasa nikmat, bagi saya. Maka itulah
jawaban sesungguhnya dari pertanyaan : kok seneng naik gunung?.
*beberapa pencapaian lainnya
masih belum bisa saya bagikan, biarlah menjadi cerita indah sesuai wishlist J Jangan takut bermimpi
yah...
0 silakan tinggalkan komentar ya teman pembaca :)
silakan boleeh komentar yaa