The Real Trek Sembalun - Pelawangan - Pendakian Gunung Rinjani #3
The Real Trek Sembalun - Pelawangan - Pendakian Gunung Rinjani #3 - Kami lepas landas dari Pos 2. Di depan saya sudah lumayan
banyak yang melanjutkan perjalanan. Semangat saya kembali terpacu. Treknya langsung
menanjak, tapi masih tipis-tipis yang lumayan panjang. Di tengah-tengah
perjalanan kami bertemu dengan pendaki bule dari luar negri. Kami sempatkan
untuk berfoto sebentar. Sejurus kemudian yang tersisa dari kelompok saya adalah
Mba Duwi dan Haziq, peserta open trip yang terbang langsung dari Malaysia.
baca juga part 2baca juga part 1
Mba duwi ini basic nya adalah orang Indonesia, tapi telah
lama menetap di Malaysia. Dia sudah sangat sering mondar-mandir
Malaysia-Indonesia. Mbak Duwi tenaganya kuat banget dan terniat. Sebelum melakukan
pendakian Rinjani, dia sudah lebih dulu menyelesaikan misi pendakian Slamet. Wow,
Slamet. Oleh-oleh yang dia dapatkan dari Slamet adalah muka yang agak gosong
karena terpaan cahaya matahari saat muncak Slamet. Tapi sekali lagi, empat
jempol untuk Mbak Duwi. Berbeda dengan Mbak Duwi, Haziq menyusul Mbak Duwi lalu
bertemu di Lombok. Planningnya mereka memang akan mendaki Rinjani bersama.
Menit-menit berlalu, trek menanjak tipis-tipis nya belum
juga usai. Sejauh mata memandang ke depan, terlihat bukit-bukit kecil namun
punggung pendaki masih bisa terlihat karena masih hamparan savana lepas. Kami
terus ditikung oleh peserta lain hingga tinggal lah hanya saya, Mbak Duwi dan
Haziq. Kami berhenti sejenak karena Mbak Duwi ingin buang air kecil. Karena engga
ada pohon, terpaksa Mbak Duwi bersembunyi di balik batu besar sedang saya
memastikan tidak ada orang yang lewat. Ya emang engga ada yang lain yang
terlihat karena hanya ada kami di lokasi itu. Sementara menunggu Mbak Duwi,
Haziq menyetel musik agak keras. Lagu yang diputar adalah kelompok lagu galau,
wah ternyata ada indikasi lain dalam tujuan pendakian Haziq hmmm.
Pukul 12:40 kami tiba di tepian tebing. Awalnya kami ragu
jalur mana yang benar karena peserta di depan kami sudah tidak terlihat. Haziq
mencoba mengira-ngira hingga membawa kami ke tepian tebing bekas longsor dari
gempa. Ada palang pengingat bahwa agar tidak terlalu dekat ke bibir tebing
karena dikhawatirkan longsor. Namun di titik ini pemandangannya sungguh
menakjubkan. Melihat agak ke bawah terlihatlah tanah berundak-undak yang
terbentuk karena longsor. Bisa dipastikan bahwa gempa sangat kuat sehingga
tanah padat ini menjadi longsor. Kami segera berlalu dari tebing ini kemudian
segera menyusul peserta yang di depan.
Jembatan menuju Pos 3 sudah di depan mata. Kondisi jembatan
ini memprihatinkan. Kami mencoba untuk pelan-pelan saat melewatinya. Setelah menurun
sedikit untuk menjumpai jembatan tersebut, kemudian akhirnya kami harus nanjak
lagi. Kali ini tanjakan nya cukup terjal ditambah banyak batu-batu besar. Kami harus
melewati punggung bukit ini untuk sampai di atas bukit. Sesampainya di atas
bukit, kami memilih untuk istirahat sebentar. Melihat awan sudah makin hitam,
buru-buru saya membuka bekal nasi ayam tadi. Ternyata bekal nasi ayam Mbak Duwi
dan Haziq dititip kepada salah satu peserta yang entah dimana keberadaannya. Jadilah
kami makan bertiga. Curhatan-curhatan kecil mulai keluar di saat-saat
kebersamaan genting ini. Biasanya sih gitu kalo lagi dalam trek, haha. Serasa senasib.
Terjebak Luapan
Air Bah
Kelar makan bareng, kami lanjutkan kembali perjalanan
ini. Saya sungguh lupa momen setelah ini apa. Tau-tau pokoknya kami langsung
pakai jas hujan karena hujan sudah turun. Akhirnya kami dapat menjumpai
beberapa peserta open trip yang terhalang langkahnya oleh hujan. Mbak Duwi
makin mengejar Pos 3 karena ingin segera selesai dari berhujan-hujan ria.
Palang Pos 3 akhirnya di depan mata.
Hujan begitu lebat sehingga saya dan Haziq mengurungkan
niat untuk menunda melewati sungai mati. Mbak Duwi ternyata langsung nyebrang
sungai karena ikut berkumpul di pondok. Pondok itu terlihat padat sehingga saya
memilih untuk berteduh di pondok sebelum sungai ini. Ada pendaki lain juga yang
sepertinya terjebak di pondok ini.
Hujan mulai mereda, Haziq mencoba untuk menyebrang
sungai, saya malah ikut-ikutan. Namun air dari bukit lain yang diatas ternyata
menyerbu ke dataran rendah. Awalnya masih kecil, mangkanya saya dan Haziq
berani mencoba melewati. Namun saat posisi kami sudah di tengah-tengah sungai
mencari tanah yang tidak lembek, ternyata air semakin besar dan deras. Saya panik.
Kaki sangat sulit diangkat karena kontur tanahnya semakin basah. Sepatu termakan
aliran air yang deras. Pikiran aneh langsung menyergap : bagaimana kalau air
semakin besar namun kami tidak kunjung juga bisa melewati sungai ini? Bisa-bisa
hanyut!
Pikiran saya melayang kemana-mana. Saya yang sering
parnoan dengan air besar langsung merasa ini salah satu moment termengerikan dalam
hidup. Kami mencoba kembali ke tepi sungai dekat pondok pertama. Namun air
terus menjadi besar sampai-sampai sudah memenuhi seluruh sungai. Dengan mulut
komat-kamit saya terjang luapan air deras itu untuk mencapai tepian sungai. Entah
bagaimana, pertolongan Allah menghantarkan saya ke tepi sungai dengan mata
berkaca-kaca. Saya pikir akan lewat bersama derasnya air luapan itu. fuhhh. Sampai
saat ini pun jika bercerita kembali dengan Haziq, moment terperangkap di sungai
adalah yang paling diingat. Paniknya engga ketulungan soalnya deh.
Mungkin sejam kemudian barulah saya dan beberapa pendaki
lain dapat sampai di pondok kedua. Tetap dengan perjuangan yang mana melewati
jalur sungai yang tidak terlalu deras airnya. Iya, sampai sejam kemudian pun
air sungai nya terus mengalir deras. Jika dipikir-pikir sampai kapan harus
menunggu. Jadilah panitia mencarikan jalan keluar sehingga kami bisa melewati
sungai dengan selamat. Ohya, saat melompat ke tepian sungai dekat pondok kedua,
kaki saya terhentak kemudian rasanya seperti keseleo. Batunya licin karena air
sungai yang deras itu sudah seperti bercampur dengan lumpur. Kurang lebih seperti ini videonya yang dikirimkan teman saya.
Ternyata, Bukit
Penyesalan...
Tidak berlama-lama di pondok 2 Pos 3, kami langsung mulai
menanjak tebing yang kali ini benar-benar terjal. Sampai-sampai pendaki yang
sudah sampai di atasnya sudah tidak terlihat. Trek awalnya bebatuan besar
karena dekat dengan sungai, kemudian barulah dijumpai pohon-pohon mati sisa
kejadian kebakaran pada beberapa waktu sebelumnya. Pohon-pohon itu sudah
berwarna hitam gosong sedang kontur tanahnya tidak berbatu lagi melainkan padat
yang cukup licin. Dari titik ini barulah dengan mudah dijumpai pohon-pohon. Padang
savana mulai undur diri.
Bukit demi bukit kami lalui. Kelompok pendakian pertama
saya mulai memisahkan diri. Karena memang tidak punya kesepakatan harus
bersama-sama dari awal, jadinya kami saling biasa aja ditinggal ataupun meninggalkan
teman lainnya. Hujan masih terus turun tapi dengan intensitas rendah. Sehingga saya
nya masih memakai jas hujan, sedang beberapa pendaki yang saya temui sepanjang
jalur ini ada yang sudah melepas jas hujannya. Mbak Duwi dan Haziq entah dimana
posisinya, saya yang bertemu dengan tim Sunda dari Karawang dan Purwakarta
akhirnya melanjutkan perjalanan bersama.
Masih dengan bukit-bukit kami lalui. Kadang saya ada
bonusnya. Naik turun tipis-tipis. Dari tadi sebenarnya saya bertanya-tanya,
yang manakah bukit penyesalan itu? Karena selepas dari bukit terjal setelah
sungai, saya merasa agak santai. Apakah karena saya terlalu menikmati trek
sehingga tidak menyadari bahwa bukit-bukit tadilah yang dinamai dengan bukit
penyesalan. Soalnya saya belum disergap rasa penyesalan, waduh haha.
Ternyata hujan makin deras saja turun menjelang saya
sampai di Pos 4. Satu per satu kami sampai di Pos 4 dengan basah kuyup. Pos 4
ini terletak di atas bukit terakhir dari bukit penyesalan. Mohon koreksi saya
apabila saya salah menamai yang mana bukit penyesalan. Hanya saja informasi di
plang Pos 4 menunjukkan bahwa jalur sebelum Pos 4 adalah bukit penyesalan. Nah makanya
saya sampai bertanya ke pendaki lain dengan berulang-ulang, benarkah yang tadi
itu bukit penyesalan.
Pondok di Pos 4 ada dua. Dua-duanya memprihatinkan.
apalagi hujan disertai angin kencang datang tiada henti. Menurut blog lain yang
saya baca, memang di Pos 4 ini angin nya amat kencang. Teman pendaki lain kian
berdatangan, tetap dengan basah kuyup. Ohiya, Haziq dan Mbak Duwi ternyata saya
temukan di Pos 4 ini. Mereka juga terjebak hujan deras sehingga memilih
mengikuti panitia untuk tetap stay di pondok Pos 4.
Satu jam berlalu. Hingga mendekati dua jam berlalu,
akhirnya hujan reda namun masih gerimis berat. Beberapa orang sudah melaju
lebih dulu. Trek di depan pondok amat terlihat jelas : langsung menanjak
terjal. Saya yang sudah berganti kelompok pendakian akhirnya menyusul kelompok
yang di depan.
Merangkak Di
Punggungan Pelawangan
Nah, start dari titik ini lah yang bagi saya treknya
menjadi berat. Disamping sudah basah kuyup, beban keril menjadi semakin berat
karena menyerap air. Mau tidak mau perjalanan harus dilanjutkan. Tenaga kami
sungguh mendekati habis pada trek ini. Terus menanjak tidak ada bonus. Ketua open
trip kebetulan ada bersama kelompok kami sehingga beliau lah yang membantu
mneyemangati dan memberi petunjuk jalur yang benar. Jalur ini sangat riskan
dari longsor. Jadi guide lah yang tau jalur mana yang bisa dilewati, karena
jalur normal sebelumnya sudah longsor.
Kami diijinkan untuk sering berhenti untuk berisirahat. Terlebih
ketika sampai di bukit yang banyak pohon pinusnya. Dari titik ini jalur summit
Rinjani bisa terlihat sangat jelas dan sangat dekat. Lama kami pandangi jalur
panjang yang terlihat curam itu. Malam nanti kami akan berada di sana. Apakah bisa?
Satu hal yang saya senangi dari perjalanan ke Pelawangan
ini. Gelak tawa sering pecah meski kami sebenarnya amat lelah. Capek engga
terlalu berasa lagi. Hanya saja karena semakin gelap, kami seperti dikejar
waktu agar tidak mendapati malam di trek ke Pelawangan. Saya yang agak suram
jika berjalan dalam malam, semakin memompa tenaga agar bisa ikuti ritme langkah
teman yang lainnya.
Pelawangan tepat sekali berada di atas bukit terakhir
yang sedang kami taklukan. Seperti merangkak di punggungan bukit terjal. Akhirnya,
kami sampai di Pelawangan saat sudah mendekati gelap. Subhanallaah, saya jatuh
hati dengan panorama dari Pelawangan. Gunung Baru Jari terlihat mencuat sedikit
di tengah-tengah danau Segara Anak. Cantik sekali.
Puluhan tenda sudah berdiri. Ternyata Amak –sebutan untuk
porter Rinjani, sudah sampai dari sore tadi. Saya langsung disuguhi minuman
hangat dan lanjut makan malam. Duh, nikmat sekali minuman dan makanan itu
setelah berlelah ria dari punggungan Pelawangan.
Bagi teman pembaca yang adalah salah satu tim pendakian
ini, moment mana yang amat mengesankan sebelum summit ? Boleh banget berbagi
pengalaman singkatnya di kolom komentar yaa...manggga
2 silakan tinggalkan komentar ya teman pembaca :)
Wah.. aku ngebacanya jadi bisa ngebayangin mendaki bukit demi bukit trus makin lama dari jalan sampe akhirnya merangkak. Bener-bener capek yang hqq ya mbak Sonya haha
ReplyDeleteBekal nasi ayam pasti itu enak banget untuk menambah tenaga ya mbak haha 😄
Hmm.. kayanya aku bakalan tepar deh mendaki diwaktu hujan basah kuyup pasti lebih berat, disini porter terdengar sebagai dewa penolong kalau aku mendaki Rinjani haha. Walapun mendakinya sudah kelar, aku jadi pengen teriak "Semangat mbak mendakinya" gara-gara baca ceritanya ini haha
terima kasih aqmarina heheheh, padahal pendakiannya udah beres dong, aiyoo next wishlist..yah 99% baiknya pakai porter dan guide
Deletesilakan boleeh komentar yaa